Kamis, 22 Januari 2009

KISAH PENGUSAHA BURGER

KISAH PENGUSAHA BURGER

Lulusan STM bangunan ini mengawali bisnisnya hanya dengan dua gerobak. Kini, ia memiliki 10 pabrik dan 2.000 outlet Edam Burger yang tersebar di seluruh Indonesia. Segalanya tentu tak mudah diraih. Bahkan, ia pernah menjalani hidup yang keras di Jakarta.
(Di rumah mungil di kawasan Perumnas Klender, Jakarta Timur, belasan pegawai berkaus merah kuning terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus kemasan bertuliskan Edam Burger disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap edar. Seorang lelaki bercelana pendek berhenti bekerja, lalu keluar menyambut NOVA.
Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi, hanya pakai oblong dan celana pendek,” tutur Made Ngurah Bagiana, sang pemilik Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.)
Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup. Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana. Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.
Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12 April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong, lalu dijual ke pasar.
Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.
PENSIUN JADI PREMANBegitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.
Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat pengalaman masa lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan letak kacamatanya).
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu - Pulogadung - Cililitan.
Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu, saya menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.
NYARIS TERSAMBAR PETIRTitik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.
Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.
Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah.
Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.
Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.

PENGUSAHA SUKSES

H Mustofa, Pengusaha Sukses yang Buta Huruf
SURABAYA - Maraknya pabrik pengecoran besi baja di Jawa Timur semakin memberi peluang bagus pada para pengusaha pemasok besi tua (besi bekas). Kebutuhan pabrik terhadap besi tua semakin besar, sehingga harga penjualan besi tua semakin bersaing. H. Mustofa, salah seorang pengusaha pemasok besi tua yang tinggal di Jl. Sidorame 30 Surabaya, mengatakan paling tidak saat ini dirinya memasok empat perusahaan pengecoran besi, yakni Hanil di Waru Sidoarjo, Ispatindo, Jatim Taman Steel, dan Maspion Grup. “Jika harganya cocok, saya langsung pasok besi tua untuk pabrik-pabrik itu. Terserah mereka minta berapa, akan saya penuhi,” kata H. Mustofa dengan logat Madura yang sangat kental.Untuk Pabrik Hanil saja, dirinya seminggu ditarget memasok 500 ton per minggu. “Kalau hanya minta 500 ton per minggu, mudah saya penuhi. Dua hari ini saja saya sudah memasok pabrik itu 300 ton. Jadi target 500 ton bisa saya penuh hanya dalam waktu 3 atau 4 hari saja,” kata H. Mustofa, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Besi Tua Indonesia (Aspebi). Pasokan untuk 4 pabrik, lanjut Mustofa, bisa sampai 8.000 ton per bulan. Guna memenuhi target dari empat pabrik yang dipasoknya, H. Mustofa mempekerjakan tidak kurang dari 700 orang. Mereka disebar di hampir seluruh pelosok Indonesia, seperti di Jember, Semarang, Bandung, Samarinda, Sampit, Palu, Balikpapan, Ujung Pandang, Papua, NTBm dan NTT. “Setiap dua hari mereka mengirim besi tua dengan kontener menuju Tanjung Perak. Dari Tanjung Perak, langsung kami kirim ke pabrik. Jadi tidak perlu masuk gudang,” tandas bapak tiga anak ini.Dari para karyawannya, H Mustofa membeli besi tua tersebut dengan harga antara Rp 2.250 – 2.300/kg untuk jenis yang bagus. Untuk jenis di bawahnya, dibeli dengan harga Rp 2.000. harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi sampai ke pabrik. Penjualan di pabrik pengecoran besi, H. Mustofa “hanya” mendapatkan keuntungan Rp 25-30/kg. Kalau dalam satu bulan rata-rata bisa memasok 8000 ton, berarti keuntungan yang didapatkan tiap bulan bisa mencapai Rp 200 juta lebih.Tukang TimbangKeberanian H. Mustofa ini tidak terlepas dari pengalaman hidupnya yang panjang sehingga ia menjadi pengusaha besi tua yang terbilang cukup sukses. Saat remaja, dia hanyalah kuli angkat besi tua di tempat penampungan besi tua milik Padli, pamannya. Ketika pamannya mulai tua, terpaksa ia harus mandiri dengan menjadi tukang timbang besi tua yang setiap hari mangkal di Jalan Sidorame, Surabaya.H. Mustofa ternyata tidak mau hidupnya hanya menjadi tukang timbang. Lewat keahliannya menaksir harga besi tua, ia nekat meminjam uang pada H. Kolik, pengusaha besi tua di daerah tersebut sebesar Rp 125 juta untuk membeli sebuah kapal perang bekas Pramasta pada tahun 1986. Ternyata, ia harus menanggung kerugian sebesar Rp 16 juta. Sebab ia meleset menaksir harga kapal tersebut.Bukannya kapok, kegagalan itu justru membuat semangat H. Mustofa semakin terlecut. Ia kembali pinjam uang ke H. Kolik untuk membeli kapal tangker dari Singapura. Ternyata penaksirannya kali ini cukup jitu, sehingga ia bisa meraup keuntungan Rp 4 juta. “Saya masih ingat saat mengawali karier sebagai pengusaha besi tua dengan membeli sebuah kapal yang karam di perairan Madura. Meski tidak tahu betul bentuk kapal yang karam itu, saya berani membelinya. Saya saat itu nekat. Jika berhasil mengangkat kapal, hasilnya sangat besar. Tetapi jika gagal, saya bisa rugi ratusan juta rupiah,” kata H. Mustofa, yang asli kelahiran Bangkalan, Madura, 30 Juni 1952 itu.Akhirnya nasib baik berpihak kepadanya karena kapal yang karam tersebut berhasil diangkatnya. Keuntungan yang sangat besar berada di depan mata. “Dari keuntungan penjualan besi kapal itulah membuat saya sampai saat ini menjadi pengusaha besi tua. Kalau saya hitung hingga saat ini sudah lebih dari 50 kapal yang pernah saya beli,” tambahnya.Mencari Besi ke IrakSebagai orang yang memiliki naluri bisnis tinggi, H Mustofa tidak cepat puas dengan kondisi saat ini. Ia juga berpikir untuk melakukan ekstensifikasi pencarian besi tua sampai ke negeri Irak. “Saat perang Irak dua tahun lalu, saya sempat mengirimkan tiga orang anak buah saya ke Irak. Sebab saya melihat setelah serangan Tentara AS di Irak, dimana banyak gedung rusak, banyak menara-menara yang runtuh, menjadikan saya tertarik untuk membeli besi tua dari negara Arab tersebut,” katanya.Tetapi sayang, tambahnya, pihaknya kesulitan untuk melakukan pembelian besi tua di sana. Selain itu, perjalanan menuju laut sangat jauh, apalagi sarana dan prasarana transportasi di Irak sulit didapat. “Akhirnya saya batalkan, meskipun saat itu sudah saya siapkan dana yang cukup besar untuk membeli besi tua dari Irak,” jelasnya.Meskipun demikian, H. Mustofa mengaku tak kecewa, karena hal itu merupakan sebuah risiko dari seorang pengusaha. “Paling tidak, saya sudah menjalin hubungan dengan orang-orang di sana, sehingga suatu saat pasti ada manfaatnya,” tandasnya.Meski tergolong pengusaha yang cukup sukses, H. Mustofa terlihat sangat sederhana. Hampir semua urusan pekerjaan ia percayakan pada karyawannya, khususnya manajemen CV Sampurna. Sebab hingga saat ini, H. Mustofa mengaku buta huruf. “Sejak kecil saya hidup miskin, sehingga harus bekerja membantu orang tua. Jadi, sejak kecil saya tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar membaca atau menulis. Saya ini buta huruf,” akunya dengan lugas.Meskipun demikian, ia berusaha agar anak-anaknya menjadi orang yang pandai dan sukses di bidang pendidikan dan bisnis. Karena itu, tiga anaknya selalu ia sekolahkan, tambahan bahasa asing dan berbagai kursus. Dalam waktu dekat, Lilik, salah seorang anaknya yang telah lulus S1 bidang hukum, akan melanjutkan pendidikan S2 bidang hukum di Belanda.Lantas, apa kunci H. Mustofa agar bisa menjadi pengusaha besi tua yang sukses? “Pengusaha besi tua itu enak, karena sampai kapanpun besi tua selalu ada, tidak pernah mati. Meski buta huruf yang penting punya hati yang bersih, jujur, dapat dipercaya orang dan kalau perlu harus nekat dalam mengambil suatu keputusan,” kata H. Mustofa.